Penulis : Nova Ayu Maulita
“Assalamu’alaikum, Ukhti!” suara melengking itu spontan membuatku mendongak. Tommy terlihat sumringah saat melihatku.
“Apa kabar nih? Lama nggak ketemu. Jadi kangen!”
Mulutku tercekat. Hari gini
dia bilang kangen sama aku? Ugh. Rasanya aku ingin tenggelam ditelan
bumi. Masalahnya saat itu aku tidak sendirian. Aku sedang bersama adik
mentoringku. Masalahnya lagi, baru lima menit yang lalu aku mengisi
mentoring tentang manajemen hati dan sikap. Nah, kalau sekarang aku
disapa Tommy seperti itu kan jadi rumit. Bisa-bisa dikira aku punya
skandal dengan ikhwan yang satu ini.
“Iya,
liburan kemana aja, Ukh? Cerita-cerita dong!” Tommy masih nyerocos
tanpa merasa bersalah sama sekali. Sementara itu aku senin-kamis
menahan malu sambil menghindari tatapan adik-adik mentorku yang
sesekali tersenyum nakal dan berdehem-dehem. Mungkin saat itu mukaku
sudah berubah menjadi traffic light, merah kuning hijau. Tapi dia tetap saja cuek dan pasang innocent face.
Tommy
adalah teman sekelas SD-ku. Enam tahun sekelas dengan nomor absen
berurutan membuat kami lumayan akrab. Sering ngobrol, sering kerja
kelompok, sering merancang ide-ide konyol, tapi sering bertengkar juga.
Pokoknya dulu bisa dikatakan kami berteman baik deh. Waktu lulus SD,
dia pindah ke luar kota. Tidak pernah ada kabar sampai
tiba-tiba dia sudah satu jurusan, bahkan sekelas denganku di
universitas. Tapi tentu saja semua sudah berubah. Paling tidak sekarang
aku sedikit-sedikit juga tahu adab bergaul dengan lawan jenis.
Tapi,
entahlah bagaimana dengan Tommy. Dia memang terbuka, suka bergaul,
bercanda, dan ngobrol dengan siapa saja. Sepertinya sekarang dia juga
sudah cukup paham. Sekarang kami sama-sama bergabung di rohis fakultas.
Tommy sering juga ikut kajian umum di fakultas, sering terlihat kumpul
bareng ikhwan-ikhwan mushala, sering ikut dalam kepanitiaan SKI, dan
juga cukup sering menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan pengetahuan
Islamnya cukup terakreditasi. Tapi untuk masalah ’centilnya’ ini, ah
entahlah… .
”Kok
diem terus sih, Van! Ngomong dong! Ngomong…!” Disuruh ngomong aku malah
semakin kikuk. Apa lagi kalau mengingat nada suaranya yang mirip-mirip
iklan operator telepon selular yang beberapa waktu lalu sempat populer,
”Ngomong dong, sayang..!” Weeit…!
”Iya,
ya, liburanku biasa-biasa aja kok. Pulang cuma seminggu, belum hilang
kangennya sama orang rumah. Kemari… nggak jadi deh!” aku nyaris saja
keterusan bicara. Tadinya aku mau cerita kalau kemarin aku ketemu sama
Dela, teman kami dalam hal gila-gilaan waktu di SD dulu. Wah, kalau tadi aku cerita, pasti obrolan nostalgia SD akan jadi panjang.
”Kemarin kenapa? Cerita dong… aku jadi penasaran nih.”
”Nggak usah, nggak penting kok! Anggap aja tadi aku nggak ngomong apa-apa”
”Uh… dari dulu kamu nggak berubah. Bikin orang penasaran.”
Aku cuma ngiyem mendengarnya.
”Eh,
Van, Van. Kamu liat akhwat itu nggak?” Kali ini Tommy mengalihkan
pembicaraan. Matanya mengarah pada seorang akhwat yang berbaju abu-abu
di seberang. ”Emangnya kenapa?” Aku terpancing ingin tahu.
”Itu tuh, bajunya kok nggak match
ya. Liat tuh, bajunya abu-abu, bawahannya hijau, jilbabnya item, eh…
tasnya merah. Bagusan kan kalau roknya item dan tasnya apa gitu kek,
yang penting jangan merah. Trus kaos kakinya itu lho, kok kuning.
Aduh…!” Tommy sok-sok memberikan penilaian bak seorang desainer sambil
memukul-mukulkan telapak tangan ke jidatnya. ”Payah ah, penampilannya!
Kalau kamu hari ini sudah cukup match kok, Van. Bagus, bagus!” Tommy memandangi sekilas setelan biru yang kupakai.
Aku
sudah tidak tahan mendengar komentar-komentarnya tadi. Siapa yang butuh
komentar darinya? Kalau saja kami masih jadi anak SD, sudah kutonjok
dia dari tadi. Hiiihhh!
”Plis
dong, Akh! Penting nggak sih buat kamu? Kasian lagi kalau beliaunya
denger kamu ngomongin dia kaya gitu. Bisa kehilangan pede. Lagian
harusnya kan antum jaga pandangan dong!” jawabku ketus disertai tampang
bete. Khusus kalau sedang bicara dengan Tommy kata-kataku jadi campur aduk, tergantung mood. Kadang pakai istilah akhi, antum, afwan, atau istilah-istilah Arab lain. Tapi kadang juga keluar aku, kamu, kasian deh lu, dan bahasa-bahasa gaul lainnya yang dulu biasa kami pakai.
”Emang nggak boleh ya komentar kaya gitu? Kalau aku malah seneng kalo ada yang ngeritik. Ah, wanita memang susah dimengerti.”
Aku
menahan diri untuk tidak berkomentar sambil mengepal-kepalkan telapak
tanganku di samping baju. Rasanya darahku sudah mendidih sampai ke
otak. Melawan kata-katanya hanya akan memicu perdebatan yang sulit
diramalkan endingnya.
”Eh, udah deh, aku pergi dulu ya.”
Tiba-tiba rongga dadaku terasa lega mendengar kalimat terakhirnya itu. Lega.
”Tapi Ukh, sebelumnya tolong liatin muka saya ada tip-exnya nggak?”
Saking
gembiranya, aku langsung menuruti persyaratan untuk membuatnya
menghilang dari hadapanku. Aku mendongak menatap wajah yang ditumbuhi
sehelai jenggot itu. ”Nggak ada, kok,” jawabku.
”Makasih ya, Ukh! Tapi bukannya kita nggak boleh memandang wajah lawan jenis? Sudah ya, wassalamu’alaikum…!”
Tinggal aku yang bengong dan gondok habis. Ugh… kena deh! Awas ya!
***
“Assalamu’alaikum…” Sosok Tommy sudah muncul di depan kostku. Aku celingukan mencari teman yang mungkin dibawanya serta. Nihil.
“Waalaikum
salam warah-matullah.. sendirian aja, Tom? Nggak bawa temen?” aku jadi
kikuk. Serba salah. Setahuku kalau ada dua orang laki-laki dan
perempuan maka ketiganya ada setan. Hiyy. Di sini ada setan dong!
Tommy
sudah empat kali berkunjung ke kostku. Aku juga sudah selalu berpesan
kalau dia harus mengajak seorang teman biar kami nggak ngobrol berdua.
Tapi sampai sekarang dia masih suka nekat datang sendirian. Dan aku
juga belum bisa mengusirnya dengan tegas. Nggak tega.
”Afwan, tadi cuma mampir karena habis beli jus dekat sini. Udah bikin tugas analisis konflik dan perdamaian, Ukh?”
”Udah, baru aja selesai.” Aku berusaha menghemat kata-kataku.
”Aku bingung nih, masalahnya gimana sih? Bisa minta tolong dijelasin nggak?”
Pertanyaannya bikin aku garuk-garuk kepala. Memaksaku untuk menjawab panjang lebar. ”Bisa nggak kalo nanya di kampus aja?”
”Tapi
aku kan mau ngerjain nanti malem. Besok kita juga nggak ketemu di
kampus. Padahal lusa harus dikumpulin.” Suaranya bernada kecewa.
”Emang nggak bisa nanya ke yang lain?!”
”Eh,
kok ketus banget sih, Van! Aku kan udah bilang, mampir kesini karena
kebetulan habis beli jus di samping kostmu, trus inget kalau ada tugas
yang aku nggak ngerti. Jadi sekalian nanya. Malu bertanya sesat di
jalan. Kita kan nggak boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki. Ya
udah kalau nggak boleh.”
Tiba-tiba hatiku meluluh. Kena jebakan kata-katanya. ”Emang mau nanya apa sih?”
Tommy nyengir. ”Nah, gitu dong!”
Akhirnya terjadilah diskusi kecil kami selama hampir setengah jam.
”Makasih banyak, Vanti! Entar namamu kucantumin di daftar pustaka deh.” Tommy berusaha melucu.
Tapi bagiku yang sudah bete banget jadi tidak lucu sama sekali. Plis dong, Akh!
”Pulang dulu ya. Sampai jumpa. Mimpi indah ya! Bu bye..”
Gleg. ”Kok sampai jumpa sih? Pake bubye pula.”
”Eh, iya, afwan. Assalamu’alaikum…”
”Alaikum salam warahmatullah.”
***
Sepertinya
belakangan ini Tommy menjadi sebuah masalah bagiku. Dan entah kenapa
banyak kebetulan-kebetulan yang menyebabkan aku harus bersama
dengannya. Misalnya pernah waktu jalan tiba-tiba kebetulan dia juga
sedang jalan kaki dan tanpa sungkan-sungkan langsung mengajak ngobrol.
Waktu beli makan di kantin juga ketemu. Tiga kali ketemu di toko buku.
Ke perpustakaan juga ketemu. Di luar kebetulan-kebetulan itu, Tommy
juga sering sekali mengirim sms, menelepon, dan menanyakan hal-hal yang
sama sekali tidak penting. Suka curi-curi pandang, suka memujiku, dan
hal-hal lain yang menurutku sangat menjengkelkan. Rasanya aku ingin
beberapa hari cuti jadi orang yang mengenalnya, biar kalau ketemu lagi
aku tidak perlu merasa begitu bosan seperti sekarang.
”Jangan-jangan
kalian jodoh” Aku hampir tersedak waktu Ika tiba-tiba mengucapkan hal
itu. Memecahkan keasyikanku menikmati makan siang di kantin Yu Jum.
”Uhuk… uhuk… hari gini ngomongin jodoh?!” aku buru-buru minum karena tenggorokanku tercekat.
”Emangnya
nggak boleh? Kuliah sudah semester lima, umur sudah kepala dua. Kalau
memang jodoh kan bisa segera…” Ika cengar-cengir melihatku.
”Astaghfirullah, ngapain sih ngomong kaya gitu, Ka? Jodoh
itu rahasia Allah, dengan siapa dan kapan itu rahasia Allah. Nggak usah
dipikirin pun toh kalau sudah tiba waktunya akan datang sendiri. Nggak
bisa diundur dan nggak bisa dipercepat.”
”Iya,
tapi kan kalau memang sudah siap maka makruh hukumnya menunda-nunda
pernikahan.” Kali ini Ika mengedip-ngedipkan matanya centil. Membuatku
serasa semakin ingin menghilang.
”Yee, siapa yang bilang sudah siap nikah?”
”Lho, kamu belum tahu ya? Tommy kan mau nikah muda! Jadi…
jangan-jangan dia sudah punya calon. Siapa tahu…! Inget lho, kalau
sudah ketemu jodoh dan mampu, maka makruh hukumnya menunda pernikahan.”
Ika kembali bersemangat sekali membuatku jengkel.
”Udah ah… kamu bikin aku kehilangan nafsu makan aja, Ka! Kalau kamu berminat, bungkus deh buat kamu!” Ika hanya terkekeh mendengarnya.
***
Entah
kenapa tanpa kusadari, obrolan dengan Ika itu menghantui pikiranku.
”Iya, jangan-jangan, jangan-jangan… oh tidak! Paling hanya aku yang
ke-geer-an.
New sms! Handphoneku tiba-tiba mengoceh sendiri.
Ups, dari Tommy!
Vanti yang baik, tolong ya siapin surat izin pinjam tempat buat syura besok. Plizz, you are my only hope =)
Ih,
apa-apaan sih ini kok minta tolong saja merayunya sampai maut begini.
Nggak menghargai banget, masa ngomong sama akhwat masih tetap
gombal-gambel kaya gini sih. Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada
perkataan Ika siang tadi. Jangan-jangan…. Kadang sikapnya memang suka
aneh sih, suka ngajak ngobrol lama-lama, suka memuji, suka sok
kebetulan mampir dengan alasan beli jus. Padahal di dekat kostnya pasti
juga ada yang jual jus, ngapain juga jauh-jauh beli jus sampai ke sini.
SMS yang model begitu juga bukan barang baru lagi. Ihh.
***
”Hati-hati lho, Van!”
”Kenapa?” alis mataku terangkat refleks.
”Hati-hati lah… sama ikhwan kaya gitu!” tukas Evi, tetangga kamarku.
”Tahu nggak, kemarin Tommy ke sini lagi lho…”
”O ya?” kini mataku yang terbelalak.
”Hati-hati sama hatimu sendiri. Kan kamu sendiri yang bilang apa tuh… witing tresna jalaran suka kulina. Nah, kalau kamu tiba-tiba jadi suka sama dia gara-gara dia sering ke sini gimana?” Evi menatapku serius.
”Apalagi kalian sudah kenal sejak kecil kan?” pertanyaannya semakin menusukku.
”So what gitu lho…”
”Ya silakan ditafsirkan sendiri… aku cuma mengingatkan, setan itu cerdik bin lihai lho…”
Aku manggut-manggut.
”Harus bisa tegas!” tambah Evi lagi.
”Tegas? Maksudnya, kalau dia dateng lagi aku harus apa? Kalau dia sms nggak usah dibales gitu?”
”Iyalah…
kalau dia dateng tuh, nggak usah dibukain pintu! Kalau sms nggak usah
dibales. Kalau becanda nggak usah diladeni, pokoknya bersikaplah
dingin!”
”O… gitu ya?”
***
Ternyata saran Evi cukup jitu. Tommy tidak lagi menjadi masalah bagiku dalam tiga minggu terakhir. Senangnya….
”New sms!”
Kuraih handphoneku.
Tommy!
Ass. Van, tidak saya kira, anti juga bisa bersikap tegas dan cool. Cocok dengan kriteria saya. Jadi, kapan anti siap menikah?
Pliss dong, Akh!
Tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak sanggup bernapas lagi.
***
Diambil dari Majalah Annida, No. 2/XVI/15 Oktober – 15 Nopember 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar